Kalimat ini saya pinjam dari seorang ibu murid sekolah yang saat ini baginya adalah pilihan berat untuk menjadi ibu rumah tangga penuh 24 jam.
Saya paham, dan berusaha kembali memahami dengan kondisinya saat ini, secara dari kasat mata memiliki keluarga berkecukupan, tetapi lebih memilih bekerja dan berkarir, meninggalkan buah hati untuk bekerja dari larut pagi hingga larut malam.
Si bunda lebih memilih bekerja ketimbang mengurus anaknya, karena kembali dia berpikir, "saya sudah lahirkan, pembantu ada, ayah dan ibu pun ada yang mengawasi, jadi "saya kembali bekerja". Bahasa lain yang disampaikan adalah "saya lebih pandai bekerja dibanding mengurus buah hati, karir saya sangat dan jauh lebih penting dibanding belasan jam bersama mereka".
Tetapi, dikala di antara pilihan menjadi ibu pekerja atau penuh IRT dalam keadaan ataupun situasi serba terdesak, mama pun harus putuskan anak adalah segalanya. Meski ada tangisan teriak, emosi memuncak, tetapi menjadi "mama bukanlah pilihan, tetapi takdir yang harus dijalani karena sudah dititipkan kepada tangan hangat bunda yang akan membesarkan mereka.
Saya berusaha pahami kesedihan perempuan pekerja ketika dipojokan, ketika diantara pilihan, ketika dipersalahankan dan merasa bersalah.
Tetapi sekali lagi mama bukanlah pilihan tetapi takdir yang meski dijalankan dengan ke iklasan menjadi ibu yang kelak melahirkan anak berprestasi dalam bidangnya, dan anak-anak sholeh dan sholeha.
Saya pun kembali berusaha selalu menyadarkan diri, karena ibu adalah tiang, ibu adalah air susu yang memberikan jaminan bathin ketenangan dan kasih serta sayang buat buah hati yang dibesarkan untuk menjadi anak hebat.
Maka dengan doa dan usaha karena ibu lah ayah paham arti cinta kasih dengan belaian cinta sikap dan usaha dari Ibu terdahulunya.
0 komentar:
Posting Komentar