Masa kecil adalah sebagian masa
terindah dalam hidupku. meski bila kuingat kembali saat itu begitu serba
kekurangannya hidup kami, tetapi aku selalu mengingat masa gembira, banyak
canda, tawa serta haru yang aku nikmatin bersama teman-teman dikampung.
Kampung! Ya aku tinggal dikampung, kampung yang masih angker dan banyak
pohon-pohon besar. Bila sore menjelang, suara burung hantu mulai berkicauan,
Kuk...kuk....hiiiiiih seram, tapi asik hahaha. Aku pernah lho lihat hantu berdiri
diatas kuburan, tapi kalau dipikir-pikir mungkin itu hanya halusinasiku saja,
ketika itu rasa takut mencekam dan aku buat pikiran menghayal.
“Ayo, mandi semua! bangun,
sekolah...” teriak mama. inilah teriakan
mama dipagi hari, membangunkan kami bertujuh. Banyak sekali anak mama-papa?!
Yah memang, namanya juga keluarga era 70an hahaha, beda sama sekarang kalo
sudah empat dibilang paling banyak. Aku adalah anak ketujuh, si ‘bontot’ biasa
dipanggil. Sebelnya keseringan dipanggil ‘oyok’ yang berasal dari kata orok membuat aku kurang
percaya diri, karena aku anak bungsu jadi papalah yang memulai memanggilku
‘orok’. Aku ngak suka panggilan ini, sebel! Tahu kenapa aku sebel?! Ya iyalah,
ini jadi bahan cacian teman-teman kalo kami bermain bersama. Panggilanku jadi
‘di oyok-oyok’ (asal ‘Oyok’ bahasa betawi artinya di
kejar-kejar)....hiks...hiks.... waktu SD kelas 2 aku paling sering nangis kalau
sudah jadi bahan ejekan karena rumahku dekat sekolah jaraknya hanya 100m, tentu
saja teman sekolah adalah teman mainku juga. Jadi panggilan ini sampai terbawa
kesekolah, dan tidak ada yang panggil namaku yang sebenarnya, katanya
kebagusan.... tidak! Kejadian inilah yang mengingatkanku agar tidak baik
memberi julukan atau panggilan kurang baik ke anak, karena ini akan merusak
percaya dirinya dan membuat dia jadi bahan ejekan.
Dibalik sebalnya aku dipanggil nama
‘oyok’ ada kenangan indah yang selalu membawaku ingin terpejam dan balik
kembali kemasa lampau, diantaranya pada saat aku mencari kangkung disawah
dengan setengah badan kami dilumuri lumpur sawah serta melihat belut, kodok,
keong, udang dan kawan-kawanya bekeliaran diantara kami yang berendam
dikombangan (tempat kangkung ditanam) air. Rumah orangtua kami berhadapan
dengan rumah guru ngajiku, dan guru ngajiku yang bernama bu Barkah adalah satu
diantara keluarga Betawi kaya, dengan orangtua yang memiliki sawah terbentang
luas dan perternakan, mungkin hektaran kala itu. “ayo ikut mpok kerumah Bapak!”
ajaknya padaku sepulang sekolah. “kita metik kangkung sama cari udang”
tambahnya. Kebenaran aku dekat dengan putri pertamanya yang terpaut 4 tahun
lebih muda dibawahku. Meski kami berdekatan kami kadang kurang akrab, maklumlah
anak-anak.
Untuk sampai disana kami berjalan
kaki memintas jalan tol yang persis baru di bangun, tentu saja jumlah mobil
yang lewat masih dapat terhitung dengan jari hingga waktu sore. Aku senang
sekali bila diajaknya memetik kangkung, sudah pasti aku akan membawa oleh-oleh
untuk mama dengan banyak kangkung dan udang, buat tambahan lauk kami kala sore
menjelang. Tapi kala itu ada yang sangat mencekam, si uwa punya kerbau dan
sedang mengangon (menggembala kerbau)
dihamparan rawa. Kala itu kerbaunya sedang marah alias ngamuk, mungkin tepatnya
bete! Melihat satu diantara kami anak-anak yang ikut serta memakai baju merah.
“awas..... lihat belakang, ada kerbau ngamuu, samperin kita (kearah kita)!” kisaran berdelapan berlari
berhamburan dan berpencar ada yang buru-buru naik pohon, sebalnya pepohonan
hanya ada ditetepian rawa, jadi kami harus berlari sekuat tenaga. “Uwaa!” salah
satu dari kami berteriak memanggil uwa, bersyukurlah Bu Barkah sigap memanggil juga dan lari menuju uwa. Uwa
yang sedang asik di membersihkan kebun datang melerai. Tahu apa yang
dilakukannya?! Si uwa bak’ pahlawan perempuan dia buka kain yang mengikat
pinggangnya, dan uwa hanya terlihat memakai celana tiga perempat melerai kerbau
seperti matador sambil bilang: “Hus...hus....ngak boleh ‘bau, harus baik!”....
owalah ngak disangka tuh kerbau langsung nurut sama uwa, mungkin tahu majikannya
yang melerai. Aku dan teman-teman yang berada dibelakang Bu Barkah sampai
takjub lihat uwa jadi pahlawan kami. Apa jadinya kalo ngak ada uwa, kami sudah
pasti terseruduk bahkan terluka. “Makasih, uwa.” Saatnya memetik kangkung dan
mencari udang, “byur” kami loncat kegirangan. Sore menjelang menghinggapi
genangan kolam lele, waktunya pulang. Wajah kami terlihat ceria ditambah
sinaran mentari sore. Sesampainya dirumah: “mah, aku bawa kangkung” seruku
memanggil mama. Bukannya senang mama melihatku, malah marah: “kamu nambah
kerjaan, mama!cuci bajumu sendiri, lihat itu kotor semua”. Benar juga yang mama
bilang, bajuku bukan lagi terlihat baju, tapi lebih dibilang kain lap yang udah
expired alias nga pantes dipakai
lagi. Kasihan mama, sudah capek mengurus kami bertujuh ditambah kejahilan aku
bermain disawah meskipun membawa oleh-oleh. Tetapi tetap ini menjadi
kebahagianku yang tak terbayarkan. Sore ini kerjaan aku dan kakak justru
bertambah, satu cuci baju sendiri dan dua bersihkan kangkung comberan...hahaha....
tetapi bagiku tetap mengasikan karena inilah hiburanku yang tak terlupakan.
Sore menjelang, makan sore telah
usai waktunya mengaji bersama dirumah ustadjah. Tetapi sebelum berangkat ngaji
waktunya main sore. Guru ngaji kami memiliki perkarangan yang luas sekali, dan
disanalah tempat kami bermain bersama sebelum memulai pengajian. Main benteng
dan main tak umpat adalah permainan yang paling mengasikan, berlari dan belajar
sigap, ternyata tanpa disadari kala itu kami melakukan olahraga bersama, yaitu
berlari cepat dan bermain logika. Diwaktu-waktu tertentu kami suka minta ijin
ke mama untuk menginap dirumah guru ngaji, ini juga menjadi hiburan kami yang
kesekian kalinya. Meskipun ada tugas tersendiri buat kami menginap tetapi kami
selalu ingin menginap, tahu apa sebabnya! “ayo makan bareng ibu, nih ada
makanan babeh bawa dari tempat pengajian tadi”. Nah inilah yang paling kusuka,
makan gratis. Hahaha....itu yang kami selalu tunggu dan harapkan kala menginap
bersama, ya, makan gratis..haha....
Tidak serta merta kami hanya makan
dan mengaji dikarenkan kemampuan membayar kami tidak semuanya mampu membayar
guru ngaji, maka kami bergotong royong membersihkan rumah guru, ada yang mecuci
pakian, menimba air disumur, menyertika dan menyapu halaman dan kami lakukan
semua dengan ikhlas, seikhlas guru kami memberikan ilmu pengajaran seadanya
kemampuan beliau serta berbagi rejeki.
Disaat kami tidak ngaji nginap, mama
memiliki trik tersendiri mengatur kami bertujuh agar cepat tidur karean dirumah
belum memiliki hiburan televisi, yang ada hanya radio dan akan mulai dinyalakan
jelang kami tidur, untuk mendengarkan kisah ‘sahur sepuh’, atau cerita seram
yang biasa mama dengarkan kekami agar cepat tidur! Inilah cara tradisional
mama, agar kami tidak berlama-lama melihat malam. tetapi buatku ini sah-sah
saja secara mama tiap malam hanya sendiri mengawasi kami sedangkan papa bekerja
hingga dini hari. Bagiku masa kecilku memberi pengajaran untuk aku menjadi
seorang ibu yang lebih baik dari masa kecilku, kini dengan kami dikarunia tiga
orang putra dan putri, kisah ini menjadi cerita tersendiri buat mereka bahwa
hidup harus dinikmati tiap masanya, meski seperti duka tetapi selalu ada pesan
suka cita dan menjadikan hidup lebih bermakna.
0 komentar:
Posting Komentar