Senin, 09 Februari 2015

Di Kejar Kerbau



 
sumber photo: photohewan.blogspot.com

            Masa kecil adalah sebagian masa terindah dalam hidupku. meski bila kuingat kembali saat itu begitu serba kekurangannya hidup kami, tetapi aku selalu mengingat masa gembira, banyak canda, tawa serta haru yang aku nikmatin bersama teman-teman dikampung. Kampung! Ya aku tinggal dikampung, kampung yang masih angker dan banyak pohon-pohon besar. Bila sore menjelang, suara burung hantu mulai berkicauan, Kuk...kuk....hiiiiiih seram, tapi asik hahaha. Aku pernah lho lihat hantu berdiri diatas kuburan, tapi kalau dipikir-pikir mungkin itu hanya halusinasiku saja, ketika itu rasa takut mencekam dan aku buat pikiran menghayal.

            “Ayo, mandi semua! bangun, sekolah...” teriak mama.  inilah teriakan mama dipagi hari, membangunkan kami bertujuh. Banyak sekali anak mama-papa?! Yah memang, namanya juga keluarga era 70an hahaha, beda sama sekarang kalo sudah empat dibilang paling banyak. Aku adalah anak ketujuh, si ‘bontot’ biasa dipanggil. Sebelnya keseringan dipanggil ‘oyok’ yang  berasal dari kata orok membuat aku kurang percaya diri, karena aku anak bungsu jadi papalah yang memulai memanggilku ‘orok’. Aku ngak suka panggilan ini, sebel! Tahu kenapa aku sebel?! Ya iyalah, ini jadi bahan cacian teman-teman kalo kami bermain bersama. Panggilanku jadi ‘di oyok-oyok’ (asal ‘Oyok’ bahasa betawi artinya di kejar-kejar)....hiks...hiks.... waktu SD kelas 2 aku paling sering nangis kalau sudah jadi bahan ejekan karena rumahku dekat sekolah jaraknya hanya 100m, tentu saja teman sekolah adalah teman mainku juga. Jadi panggilan ini sampai terbawa kesekolah, dan tidak ada yang panggil namaku yang sebenarnya, katanya kebagusan.... tidak! Kejadian inilah yang mengingatkanku agar tidak baik memberi julukan atau panggilan kurang baik ke anak, karena ini akan merusak percaya dirinya dan membuat dia jadi bahan ejekan.

            Dibalik sebalnya aku dipanggil nama ‘oyok’ ada kenangan indah yang selalu membawaku ingin terpejam dan balik kembali kemasa lampau, diantaranya pada saat aku mencari kangkung disawah dengan setengah badan kami dilumuri lumpur sawah serta melihat belut, kodok, keong, udang dan kawan-kawanya bekeliaran diantara kami yang berendam dikombangan (tempat kangkung ditanam) air. Rumah orangtua kami berhadapan dengan rumah guru ngajiku, dan guru ngajiku yang bernama bu Barkah adalah satu diantara keluarga Betawi kaya, dengan orangtua yang memiliki sawah terbentang luas dan perternakan, mungkin hektaran kala itu. “ayo ikut mpok kerumah Bapak!” ajaknya padaku sepulang sekolah. “kita metik kangkung sama cari udang” tambahnya. Kebenaran aku dekat dengan putri pertamanya yang terpaut 4 tahun lebih muda dibawahku. Meski kami berdekatan kami kadang kurang akrab, maklumlah anak-anak.

            Untuk sampai disana kami berjalan kaki memintas jalan tol yang persis baru di bangun, tentu saja jumlah mobil yang lewat masih dapat terhitung dengan jari hingga waktu sore. Aku senang sekali bila diajaknya memetik kangkung, sudah pasti aku akan membawa oleh-oleh untuk mama dengan banyak kangkung dan udang, buat tambahan lauk kami kala sore menjelang. Tapi kala itu ada yang sangat mencekam, si uwa punya kerbau dan sedang mengangon (menggembala kerbau) dihamparan rawa. Kala itu kerbaunya sedang marah alias ngamuk, mungkin tepatnya bete! Melihat satu diantara kami anak-anak yang ikut serta memakai baju merah. “awas..... lihat belakang, ada kerbau ngamuu, samperin kita (kearah kita)!” kisaran berdelapan berlari berhamburan dan berpencar ada yang buru-buru naik pohon, sebalnya pepohonan hanya ada ditetepian rawa, jadi kami harus berlari sekuat tenaga. “Uwaa!” salah satu dari kami berteriak memanggil uwa, bersyukurlah Bu Barkah  sigap memanggil juga dan lari menuju uwa. Uwa yang sedang asik di membersihkan kebun datang melerai. Tahu apa yang dilakukannya?! Si uwa bak’ pahlawan perempuan dia buka kain yang mengikat pinggangnya, dan uwa hanya terlihat memakai celana tiga perempat melerai kerbau seperti matador sambil bilang: “Hus...hus....ngak boleh ‘bau, harus baik!”.... owalah ngak disangka tuh kerbau langsung nurut sama uwa, mungkin tahu majikannya yang melerai. Aku dan teman-teman yang berada dibelakang Bu Barkah sampai takjub lihat uwa jadi pahlawan kami. Apa jadinya kalo ngak ada uwa, kami sudah pasti terseruduk bahkan terluka. “Makasih, uwa.” Saatnya memetik kangkung dan mencari udang, “byur” kami loncat kegirangan. Sore menjelang menghinggapi genangan kolam lele, waktunya pulang. Wajah kami terlihat ceria ditambah sinaran mentari sore. Sesampainya dirumah: “mah, aku bawa kangkung” seruku memanggil mama. Bukannya senang mama melihatku, malah marah: “kamu nambah kerjaan, mama!cuci bajumu sendiri, lihat itu kotor semua”. Benar juga yang mama bilang, bajuku bukan lagi terlihat baju, tapi lebih dibilang kain lap yang udah expired alias nga pantes dipakai lagi. Kasihan mama, sudah capek mengurus kami bertujuh ditambah kejahilan aku bermain disawah meskipun membawa oleh-oleh. Tetapi tetap ini menjadi kebahagianku yang tak terbayarkan. Sore ini kerjaan aku dan kakak justru bertambah, satu cuci baju sendiri dan dua bersihkan kangkung comberan...hahaha.... tetapi bagiku tetap mengasikan karena inilah hiburanku  yang tak terlupakan.

            Sore menjelang, makan sore telah usai waktunya mengaji bersama dirumah ustadjah. Tetapi sebelum berangkat ngaji waktunya main sore. Guru ngaji kami memiliki perkarangan yang luas sekali, dan disanalah tempat kami bermain bersama sebelum memulai pengajian. Main benteng dan main tak umpat adalah permainan yang paling mengasikan, berlari dan belajar sigap, ternyata tanpa disadari kala itu kami melakukan olahraga bersama, yaitu berlari cepat dan bermain logika. Diwaktu-waktu tertentu kami suka minta ijin ke mama untuk menginap dirumah guru ngaji, ini juga menjadi hiburan kami yang kesekian kalinya. Meskipun ada tugas tersendiri buat kami menginap tetapi kami selalu ingin menginap, tahu apa sebabnya! “ayo makan bareng ibu, nih ada makanan babeh bawa dari tempat pengajian tadi”. Nah inilah yang paling kusuka, makan gratis. Hahaha....itu yang kami selalu tunggu dan harapkan kala menginap bersama, ya, makan gratis..haha....

            Tidak serta merta kami hanya makan dan mengaji dikarenkan kemampuan membayar kami tidak semuanya mampu membayar guru ngaji, maka kami bergotong royong membersihkan rumah guru, ada yang mecuci pakian, menimba air disumur, menyertika dan menyapu halaman dan kami lakukan semua dengan ikhlas, seikhlas guru kami memberikan ilmu pengajaran seadanya kemampuan beliau serta berbagi rejeki.


            Disaat kami tidak ngaji nginap, mama memiliki trik tersendiri mengatur kami bertujuh agar cepat tidur karean dirumah belum memiliki hiburan televisi, yang ada hanya radio dan akan mulai dinyalakan jelang kami tidur, untuk mendengarkan kisah ‘sahur sepuh’, atau cerita seram yang biasa mama dengarkan kekami agar cepat tidur! Inilah cara tradisional mama, agar kami tidak berlama-lama melihat malam. tetapi buatku ini sah-sah saja secara mama tiap malam hanya sendiri mengawasi kami sedangkan papa bekerja hingga dini hari. Bagiku masa kecilku memberi pengajaran untuk aku menjadi seorang ibu yang lebih baik dari masa kecilku, kini dengan kami dikarunia tiga orang putra dan putri, kisah ini menjadi cerita tersendiri buat mereka bahwa hidup harus dinikmati tiap masanya, meski seperti duka tetapi selalu ada pesan suka cita dan menjadikan hidup lebih bermakna.



0 komentar: